Showing posts with label Ibu. Show all posts
Showing posts with label Ibu. Show all posts

Tuesday, 2 April 2019

[ GAME LEVEL 1 ] Day 6 Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif

Seni berkomunikasi itu memang dua arah dan timbal balik. Sejak berusaha saling membenahi komunikasi kami sekeluarga agar menjadi lebih produktif, tentunya tak henti untuk saling mengingatkan.

Hari ini saya berencana "mengganti jadwal tidur" usai dinas malam sebelumnya dan baru pulang pagi, lalu siang hari ini pula saya ada shift dinas sore mulai pukul 2 siang. Artinya saya punya beberapa jam untuk istirahat. Menjelang adzan dzuhur, sebelum pergi ke masjid ibu berkata "Yang, ayo bangun. Shalat dzuhur dan siap-siap, nanti buru-buru lagi dan ga nelat". "Katanya ga mau diomeli", beliau menimpali. Aku tersenyum kecut.

Jadilah siang ini aku bangun dengan lebih ringan dan ikhlas tanpa ibu perlu menggerutui aku yang kerap mengolor waktu berangkat kerja. Ibu memberi contoh untuk menyampai pesan dengan tenang dan meminimalisir marah. Maka respon terbaik adalah segera bangkit, bergegas, ucap terimakasih dan tunjukkan wajah sumringah pada ibunda.

Pada materi komunikasi yang proses belajarnya sepanjang hayat, ia membutuhkan kesungguhan. Karena sesungguhan itu perlu ditunjukkan dan tak sekedar diucapkan.

#hari6
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional

Thursday, 26 December 2013

Jalan Bunga (Ibu)

Menatap wajahmu ibu,
Seperti sepotong bulan pualam
Menawan di tengah irama malam.
Menggamit tanganmu ibu,
Ada diorama yang terjelma
Hangat dari sekedar unggun yang menyala
Merinduimu Ibu,
Seperti pasir gurun menanti rintik
Atau matahari menunggu pagi.
Mencintaimu ibu,
Seperti pantai mencintai ombak
Menerjang dalam dada berbuncah
Hingga rona warna cinta pekat sudah.
Mengenangmu ibu,
Mengenang Tuhan dalam asma-Nya
Di dalamnya aku terengkuh dan terjaga
Sebelum menatap warna bernama dunia
Berbakti padamu ibu,
Membangun istana di negeri penuh bunga
Maka dosalah aku
Bila tak kutemui surga
Di bawah telapak kakimu.

Di teras kota gigil, 20 Desember 2013
Untuk wanita perkasa yang melahirkan banyak matahari
Hingga matahari kini tak sendiri…


Monday, 15 April 2013

Surat

Sore kemaren, tiba-tiba handphone berdering. Satu sms masuk. Ah, dari ibu. Spontan saya langsung klik open dan membaca pesan dari wanita penuh cinta itu.
Yap. Pemberitahuan dari ibu kalau ayah baru mengirimi saya pulsa, hehe. Disambung kalimat selanjutnya…
“Kemaren surat tanggal 23 Maret baru ibu terima, bener dari Ayang? Masuk ke selokan Yang, tapi setelah dicuci dikeringkan dan dirangkai baru kebaca jelas. Jadi terharu Yang”
Oke, surat saya memang masuk selokan. Tapi yang penting, bikin ibu terharu jauh membuat saya jadi lebih terharu. Hwaaa >_<

---

Jadi ceritanya di lingkar halaqah (mentoring, pembinaan pekanan. red) saya bulan lalu membahas materi tentang peran wanita, tak terlepas menjadi ummu madrasah (ibu sebagai pendidik dan sekolah bagi anak). Di akhir materi, Murabbi (mentor/ pembina) saya pun meminta kami menulis surat cinta pada Ibu dalam sepuluh menit *serius! pake timer*. Surat kemudian dilipat origami jadi bentuk hati, ditulis alamat hingga akhirnya Murabbi saya benar-benar mengirimkannya.
Dan begitulah. Akhirnya ibu menerima surat itu.



Apa isinya? Ah, ini rahasia ibu dan gadis sulungnya :p 

Sunday, 14 April 2013

Kalau Engkau Cinta

Kalau engkau sudah cinta, maka apa yang engkau berikan bukanlah pengorbanan. Tapi memang yang selayaknya diberikan. Kalau engkau mencintai ibu dan ayahmu, lelah dan peluhmu bukan pengorbananmu, tapi itu karena cintamu.

Nah, bersemangat yeah!

Saturday, 28 July 2012

Pulang

Pagi ini,
ditelfon ayah sama ibu, dan disuruh segera pulang.
sampai diancem dipesenin tiket *hehe*

iya bu, yah..
ananda akan pulang! segera ^^b

Tuesday, 22 May 2012

Bu, sejenak aku ingin mendekapmu

Entahlah, dua bulan terakhir kali ini saya diiputi awan hitam. Resah, kata orang sekarang. Mengapa? Entahlah. Dan saya tidak menyukai situasi ini. For sure.

Jenuh. Mungkin ini jawabannya saat saya menghadapi kuliah, organisasi dan kegiatan lainnya.
Saat-saat seperti inilah, aku ingin sejenak pulang. Memeluk, mendekap aroma tubuh ibu. Menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala, menyerap energi dari suara nasehatnya. Memang ibu akan bertanya. Ia paling mengerti soal ini.

Lagi, ibu aku rindu..

Tuesday, 25 January 2011

Jaso Mandeh

Sambilan bulan sapuluah hari
Manangguang ragam saba mananti
Manyabuang nyao basarah diri
Darah tatumpah manyiram bumi
Jolong tadanga rengek jo tangih
Barubek jariah sananglah hati
Anggak ka ameh babungkah-bungkah
Anggak ka perak indak tabilang
Kok hati mandeh nan dilukoi
Bumi manyumpah ‘Arasy baguncang
Alamaik iduik tak kan salasai
Bak cando kayu digiriak kumbang
Jaso mandeh indak ka tabaleh
Bia babungkah perak jo ameh
Jaso mandeh indak ka tabaleh
Bia babungkah perak jo ameh
(Ciptaan (?), Dipopulerkan oleh Tiar Ramon)

Kelok 44


Maluncua denai nak lakeh
Ndeh Mandeh tolong doakan
Nan kok mujua bundo malapeh
Bak ayam pulang ka pauiktan
Reff:
Di kelok ampek puluah ampek
Denai bamulo barangkek
Tinggalah kampuang sanak sudaro
Denai barangkek ka tanah Jao
Tinggalah kelok ampek puluah ampek
Tinggalah kelok ampek puluah ampek
Di Taluak Bayua den tamanuang
Den lapeh pandang bakuliliang
Tabayang rantau nan ka den hadang
Dima ko badan beko manompang
Jatuah badarai aia mato
Tinggalah kelok ampek puluah ampek
Tinggalah kelok ampek puluah ampek
(Ciptaan Masroel Mamudja, Dipopulerkan oleh Elly Kasim)

NB: lagunya pas sekali, ke tanah Jawa...

Tinggalah Kampuang


Tinggalah kampuang ranah Balingka
Gunuang Singgalang (ondeh) lai ka manjago
Oi mandeh kanduang tolong jo do’a
Antah pabilo (ondeh) kito basuo
Reff:
Takadia untuang kok lai ka mujua
Bilo masonyo kito basuo
Sadangnyo arek tali jo buhua
Bakarek rotan kini jadinyo
Jikok taragak yo nak basuo
Didalam nyanyi (ondeh) denai pasankan
Jikok taragak mandeh jo ambo
Didalam mimpi (ondeh) kito batamu
Oi mandeh kanduang tolong jo do’a
Antah pabilo (ondeh) kito basuo
(Ciptaan Syahrul Tarun Yusuf, Dipopulerkan oleh Elly Kasim)

NB: wahai Ibu, mohon doamu ;')

Batu Tagak

Lapeh nan dari kelok Sikabu
Dilingkuang bukik jo gunuang Singgalang
Balingka jorongnyo tigo
Batu Tagak takana juo
Mandeh, basabalah Mandeh dahulu
Lai taragak denai nak pulang
Nak basuo ayah jo bundo
Tapi kini sadang sansaro
Reff:
Takana maso denai ka pai
Bundo malapeh denai jo ibo hati
Basabalah mandeh mananti
Di Batu Tagak nantikan denai
(Ciptaan Syahrul Tarun Yusuf, Dipopulerkan oleh Lily Syarief 1960-an dan Efrinon 1980-an)
NB:
lagu lama Minangkabau... tentang anak rantau, berpesan pada ibunda untuk tegar melepas ananda. Batu Tagak itu ibarat kuatnya ketegaran :)

Thursday, 23 December 2010

Ia Melihat Dirinya dalam Diriku

Namaku Fildzah, anak pantai barat Sumatera yang belajar menapaki bumi di tanah yang baru, Pulau Jawa. Satu alasan kuat bernama pendidikan mengharuskanku tinggal jauh dari Ayah, Ibu dan adik-adikku untuk bertolak menuju tanah perantauan. Berat sungguh, tapi Ayah dan Ibuku yang perkasa selalu menguatkan, menyulap keluhku menjadi segenap rasa syukur bahwa aku memiliki mereka, dalam arti keberadaan di hatiku.



“di sudut semesta
kutitip doa berbalut cinta
yang menjulang ke langit syahdu
agar Ia bisikkan pada Ibu
betapa aku mencintanya”

Aku memanggilnya dengan kata yang sederhana. Ibu. Bukan mama, bunda, umi atau mami. Tapi Ibu. Dari dahulu aku tak mau menggantikan “panggilan cinta” untuknya itu dengan kata yang lain. Begitulah ibu memanggil ibunya, dan aku ingin ibu melihat dirinya dalam diriku saat ia memanggil ibunya pun dengan sebutan yang sama, Ibu.

Aku dan Ibu memiliki banyak persamaan. Kami terlahir sebagai anak pertama, memiliki adik yang terpaut selisih usia satu tahun, hobi melukis, pemalu,  gampang terharu, suka baca dan sebal jika buku rusak, jatuh cinta pada martabak dan bercita-cita menjadi dokter. Aku belajar melukis dari Ibu dan Ia selalu tersenyum bangga saat aku menjuarai berbagai lomba lukis. Dan saat aku diterima sebagai mahasiswa kedokteran, ibuku mengungkap bahwa ia pun dahulu mengimpikan hal yang sama, menjadi seorang tenaga kesehatan. Namun kisahnya memilih hal lain, hingga aku bertekad, “Tak apa, Bu. Biar aku yang mewujudkan cita-citamu. Insya Allah.” Maka, aku menyukai momen saat aku merebahkan kepala di pangkuannya, bertanya dan menanti kisah bagaimana ia kala muda dahulu. Jika mengingat itu, aku sadar betapa miripnya aku dengan ibu.

Masa depan yang terpancar
di nyala dadamu
kutahu
kau tak rela daun-daun harapan
gugur luruh menampar genggaman
(Sajak Segalanya Padamu Ibunda – Dharmawijaya)

Aku ingin ibu melihat harapan dan cita-citanya -mungkin perwujudan impian yang dulu ditinggalkannya- di dalam diriku. Dan dalam diri ibuku, aku ingin melihat lebih jauh lagi sosok Ibu sebagai fondasi yang selama ini menguatkanku atau memahami makna menjadi seorang perempuan, menjadi seorang Ibu.  
“Bu, nanda tak ingin memikirkan jauhnya jarak dua kota kita terpisah. Bu, nanda yakin bahwa kita tidak jauh. Karena sayang Ibu telah sampai, menjaga relung hati ini, menumbuhkan asa saat penat itu datang. Bu, rindu ini melangit tinggi…


… sebagai kado kecil di hari Ibu
Manusia perkasa yang melahirkan banyak matahari

NB:
sebenarnya tulisan ini diajukan dalam lomba essay memperingati Hari Ibu,
meski ga menang, NO problemo deh
finally, dengan editing di beberapa bagian, aku post disini :)