Namaku Fildzah, anak pantai barat Sumatera yang belajar menapaki bumi di tanah yang baru, Pulau Jawa. Satu alasan kuat bernama pendidikan mengharuskanku tinggal jauh dari Ayah, Ibu dan adik-adikku untuk bertolak menuju tanah perantauan. Berat sungguh, tapi Ayah dan Ibuku yang perkasa selalu menguatkan, menyulap keluhku menjadi segenap rasa syukur bahwa aku memiliki mereka, dalam arti keberadaan di hatiku.
“di sudut semesta
kutitip doa berbalut cinta
yang menjulang ke langit syahdu
agar Ia bisikkan pada Ibu
betapa aku mencintanya”
Aku memanggilnya dengan kata yang sederhana. Ibu. Bukan mama, bunda, umi atau mami. Tapi Ibu. Dari dahulu aku tak mau menggantikan “panggilan cinta” untuknya itu dengan kata yang lain. Begitulah ibu memanggil ibunya, dan aku ingin ibu melihat dirinya dalam diriku saat ia memanggil ibunya pun dengan sebutan yang sama, Ibu.
Aku dan Ibu memiliki banyak persamaan. Kami terlahir sebagai anak pertama, memiliki adik yang terpaut selisih usia satu tahun, hobi melukis, pemalu, gampang terharu, suka baca dan sebal jika buku rusak, jatuh cinta pada martabak dan bercita-cita menjadi dokter. Aku belajar melukis dari Ibu dan Ia selalu tersenyum bangga saat aku menjuarai berbagai lomba lukis. Dan saat aku diterima sebagai mahasiswa kedokteran, ibuku mengungkap bahwa ia pun dahulu mengimpikan hal yang sama, menjadi seorang tenaga kesehatan. Namun kisahnya memilih hal lain, hingga aku bertekad, “Tak apa, Bu. Biar aku yang mewujudkan cita-citamu. Insya Allah.” Maka, aku menyukai momen saat aku merebahkan kepala di pangkuannya, bertanya dan menanti kisah bagaimana ia kala muda dahulu. Jika mengingat itu, aku sadar betapa miripnya aku dengan ibu.
Masa depan yang terpancar
di nyala dadamu
kutahu
kau tak rela daun-daun harapan
gugur luruh menampar genggaman
(Sajak Segalanya Padamu Ibunda – Dharmawijaya)
Aku ingin ibu melihat harapan dan cita-citanya -mungkin perwujudan impian yang dulu ditinggalkannya- di dalam diriku. Dan dalam diri ibuku, aku ingin melihat lebih jauh lagi sosok Ibu sebagai fondasi yang selama ini menguatkanku atau memahami makna menjadi seorang perempuan, menjadi seorang Ibu.
“Bu, nanda tak ingin memikirkan jauhnya jarak dua kota kita terpisah. Bu, nanda yakin bahwa kita tidak jauh. Karena sayang Ibu telah sampai, menjaga relung hati ini, menumbuhkan asa saat penat itu datang. Bu, rindu ini melangit tinggi…”
… sebagai kado kecil di hari Ibu
Manusia perkasa yang melahirkan banyak matahari
NB:
sebenarnya tulisan ini diajukan dalam lomba essay memperingati Hari Ibu,
meski ga menang, NO problemo deh
finally, dengan editing di beberapa bagian, aku post disini :)
No comments:
Post a Comment