Tuesday 12 April 2011

Untuk Para Pemimpin Kami


Para pemimpin itu lahir dari rahim masyarakatnya. Maka, ia menjadi cermin masyarakat yang melahirkan dan membentuk dirinya. Kalau sekarang justru banyak di antara pemimpin yang mungkin berbuat salah, bijaksanakah kita dengan menghujat dan mencela? Jika mengingatkan adalah kewajiban, namun mencela adalah suatu kedzaliman.


Astaghfirullahal'adziim... Memang kita sebagai rakyat yang harus banyak berbenah, untuk selanjutnya melahirkan pemimpin yang amanah. Kita sebagai rakyat yang harus merapikan diri dan membekali generasi untuk mendewasakan setiap pribadi. Ya, kita ini sebagai rakyat. Jadi jangan puaskan diri hanya untuk mengomeli pemimpin kita. Ingat lagi surat As Shaff, Allah murka dengan orang yang mengatakan apa-apa yang tidak mereka kerjakan.


Untuk para pemimpin saat ini, mari kita kirim doa biar hati mereka jadi peka. Semoga Allah senantiasa teguhkan mereka dari segala bentuk goda dan cela. Amiin...

Ayo dong, Zah

Kini sudah hitungan bulan kedelapan dan hampir menginjak bulan kesembilan sejak aku disambut sebagai mahasiswa baru dalam rangkaian PK2MU dan PK2MABA (ospek, red) oleh kakak-kakak kelas tercinta...

Sudah delapan bulan aku menyesuaikan diri untuk berjibaku dengan dunia perkuliahan di Fakultas Kedokteran di universitas bernama Brawijaya untuk merealisasikan mimpi yang ku bangun, menjadi seorang tenaga kesehatan, hingga dengannya aku ingin mengabdi. Tapi, menelisik kisah delapan bulanku, agaknya aku belum sepenuhnya serius menghadapi akademis. Astaghfirullah..

Ingat, ingat. Tujuan awal aku datang ke tanah Jawa ini adalah ilmu (meski tentunya ilmu itu sangat luas), tapi jelas di sini adalah untuk kuliah. Dengan kata lain, tak ada alasan apapun -yang tujuannya membenar-benarkankan- kalau akademisku morat-marit (Na'udzubillah). Maka akademis harus jadi prioritas utama. Aku harus berusaha menjadi akademisi yang rapi.

Kadang aku memang merasa penat. Tapi kadang aku pun merasa bahwa itu juga yang menjadi pembenaran diri atas kemalasan. Bukankah inti menjadi seorang dokter kelak adalah mengabdi, dan jelas bukan hanya untuk diri. Tubuhku bukan hakku sepenuhnya, ada hak-hak orang lain yang harus aku tunaikan. Dan harus ada yang kuberi untuk orang-orang di sekitarku. Khairunnas yan fa'u linnas. Lelah? Mungkin iya, karena selama ini diriku acapkali dimanjakan dengan waktu luang. Tapi memang tak sepantasnya seorang yang mengabdi mengatakan bahwa dirinya lelah (paling tidak, jangan mengeluh). Pengabdian memang melelahkan. Tak ada pengabdian yang dilahirkan dengan "duduk-duduk di kursi goyang, sayang". Maka, tersenyumlah. Ia akan menghapus kelelahan itu jika kita sandarkan diri sepenuhnya pada Yang Maha Memberi Kekuatan.

Monday 11 April 2011

Lelah?


Zah,

Dakwah ini memang berat, penat dan melelahkan. Dakwah itu agung, tinggi dan suci. Maka selayaknya ia diperjuangkan dengan segala daya, segenap upaya dan sekhusyu' doa.
Sudahkan hari ini menanam investasi amal dan dakwah?
Jika hari ini kau tak merasa lelah, apakah mungkin kau belum berdakwah?
Jika hari ini kau merasa lelah, apakah benar daya yang tercurah adalah untuk dakwah?
Jika telah sebenar lelah, apakah lelah itu karena dakwah?

Lelah... Oh, sampai kapan?
Adakah dengannya kau inginkan untuk berhenti, sembunyi atau lari?

***
Zah,

Lelah adalah kodratnya sebuah perjuangan. Tiada perjuangan tanpa rasa lelah yang mendera. Tapi, bukankah seharusnya kau tak merasa lega, saat rencana belum terlaksana. Karena dunia sudah mendapatkan kodratnya, bahwa ia adalah lahan menanam benih amal dan berjuang. Untuk kemudian nanti, segala lelah itu akan diangkat saat kaki ini menginjak lantai-lantai syurga... Amin ya Rabbal a'lamiin.

untuk itulah lingkaran itu ada, menjadi tempat berbagi dan saling mengerti. Teguhlah, Zah.

NB:
syukran katsiran untuk saudari yang telah mengingatkanku. Ya, bagaimanapun kondisinya, Allah harus menjadi satu-satunya tendensi saat kita merasa seberat-sesulit-dan selelah apapun.

Saturday 2 April 2011

kewajiban kita lebih banyak dibanding waktu yang kita miliki

saat aku lelah menulis dan membaca
di atas buku-buku kuletakkan kepala
dan saat pipiku menyentuh sampulnya
hatiku tersengat
kewajibanku masih berjebah,
bagaimana mungkin aku bisa beristirahat?
-Imam An Nawawi-


Banyak orang menyamakan disiplin dan memaksa diri dengan tiadanya kebebasan. Kata mereka, ”Keharusan membunuh spontanitas. Tak ada kebebasan dalam keharusan. Saya ingin melakukan apa yang saya inginkan. Itulah kebebasan, bukan tugas.” Pada kenyatannya sebaliknyalah yang benar. Hanya orang-orang yang berdisiplinlah yang benar-benar bebas. Orang-orang yang tidak disiplin adalah budak dari suasana hatinya, budak kesenangan, dan nafsu-nafsunya. (Salim A. Fillah, Jalan Cinta Para Pejuang)