akhirnya ia datang membawa belati menggores nestapa yang tiba-tiba, lalu di kampus tangisku pecah bersama angin sambil terseok-seok merengkuh pesan untuk menyampaikan kabarku di sini pada mereka yang duduk di atas kursi goyang. Apakah mereka benar bergoyang di atas kursi atau ikut banting tulang memikirkan kami.
Tangisku pecah lagi tak berani menghitung kerut dahi ayah dan resah ibu yang dengan diamnya menguatkanku, tak apa nak kami baik-baik saja, kata mereka padahal sungguh aku tahu mereka tidak baik-baik saja.
Lalu aku tanya lagi, apa pendidikan demikian menjulang hingga tak tergapai kecuali dengan tangga kertas hijau? Apakah kau paksa lagi aku ketakutan gara-gara dengar aku takut tak bisa kuliah lagi, kuliah mahal, aku tak mau memikirkan itu karena sedari dulu terlanjur percaya janji pemerataan yang merata dengan bijaksana. Apakah janji itu bisa digenggam seperti janji-Nya yang kokoh?
Atau untuk mereka yang tidak mau ambil pusing bayar mahal, tahukah kau tentang kabar orangtua kami yang banting tulang dan kami harus kuliah dengan pontang-panting sedangkan kau, kau asik melenggang dengan mobil merk paling baru tapi tega memalsu sampai-sampai cuma bayar setengah bahu lalu kukabarkan bahwa setengah bahuku jadi rapuh memendam pilu.
huhuhu, kemana kami mengadu?
No comments:
Post a Comment