Monday, 21 March 2011

Sejarah, Prestasi dan Legitimasi Cita-Cita

(dikutip dari  salah satu subbab buku Agar Ngampus tak Sekedar Status
karya Robi’ah al-Adawiyah dan Hatta Stamsuddin, 2008 yang disarikan dari makalah dengan judul yang sama karya Hatta Syamsuddin, 2003)

Prestasi Kita = Sejarah Kita
Sejarah tidak selalu melahirkan seorang tokoh besar, justru kadang sejarah lahir dari prestrasi besar yang ditorehkan seorang tokoh. Sejarah kemenangan Islam di Andalusia tidak melahirkan seorang tokoh bernama Thariq bin Ziyad dan kematangannya—dengan izin Allah—telah memasukkan Andalusia dalam catatan sejarah sebagai tanah air kejayaan Islam. Orang-orang besar dan para pahlawan yang lain demikian pula. Bagi mereka apa yang telah mereka prestasikan dan bagi kita apa yang akan kita usahakan meraihnya.

Prestasi adalah masalah ketepatan waktu. Setiap orang berhak bahkan harus me ngisi waktunya dengan prestasi-prestasi yang dapat diusahakannya. Naun, sejarah terlalu selektif dalam mencatat prestasi-prestasi tersebut. Sejarah ternyata hanya tertarik untuk mencatat prestasi-prestasi besar. Prestasi besar para pahlawan akan dengan mudah kita temukan dalam kitab-kitab besar sejarah, ensiklopedi dunia dan nostalgia heroism anak manusia. Sedangkan prestasi-prestasi kecil, tempatnya hanyalah di buku-buku autobiografi kecil, majalah-majalah temporal, atau buku-uku using di sudut perpustakaan.

Pun begitu, kita tentu tidak akan meningkirkan prestasi-prestasi kecil kita, sebagaimana sejarah ‘menyingkirkannya’. Namun merupakan suatu kebutuhan, untuk mengkaji ulang bagaimana prestasi-prestasi besar itu ditorehkan. agar ketika saatnya tiba, kita tidak terlalu shock dengan prestasi-prestasi besar yang kita capai. Shock ketika berprestasi besar hanyalah akan memunculkan sikap overconfidence.

Sebuah prestasi ditorehkan melalui proses metamorfosis yang kompleks, rumit, dan terjamin. Prestasi besar pada awalnya adalah sebuah cita-cita, kemudian bergerak menjadi suatu target yang termotivasi (azzam). Dari azzam ia menjadi satuan aktivitas kerja yang terprogram (munaddham), professional (itqan), dan sungguh-sungguh (mujahadah).

Proses selanjutnya adalah masalah timing atau ketepatan waktu. seseorang dnegan aktivitas menuju cita-citany adalah sebuah bom waktu. ia hanya menunggu waktu untuk meledakkannya. setiap prestasi besar adalah sebuah ledakan potensi seorang tokoh. ledakan itu harus sesuai dengan timing yang disepakati sejarah. jika tiadk, maka yang muncul hanyalah sebuah letupan kecil. tentunya letupan tidak sama dengan ledakan. Lagi-lagi sejarah hanya peduli dengan ledakan-ledakan besar atau dengan kata lain prestasi-prestasi besar.

Selanjutnya, apa hubungan sejarah prestasi dan legitimasi cita-cita? Sejarah prestasi para tokoh dan pahlawan, sesungguhnya bermula dari cita-cita mereka yang legitimate. COntohnya, Khalid bin Walid ra mengukir prestasi kemenangan di medan Yarmuk. Rahasianya? Singkat cerita, karena sejak kecil ia melakukan ‘survey lapangan’ di medan Yarmuk, hingga ia paham betul strategi meraih kemenangan di medan tersebut. puluhan tahun lewat, akhirnya strategi itulah yang mengantar pasukan Islam mencapai kemenangannya.

Seseorang berhak emmiliki cita-cita, naik anak kecil, oaring muda maupun tua. sebagaimana huum kekekalan energy, cita-cita tidak akan pernah habis atau hilang, namun ia hanya akan berubah bentuk menyesuaikan realita. cita-cita akan berproses dan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia dan berubahnya zaman. Seorang anak kecil akan memulai prosesnya dnegan mencita-citakan profesi atau statusnya di tengah masyarakat (dokter, guru, tentara, bahkan presiden). Seorang pemuda akan mencita-citakan diri sesuai denga idealism da semangat heroiknya (menjadi dubes, politikus atau pengusaha sukses). Seorang dewasa yang mulai menekuni profesinya akan sedikit realistis dalam bercita-cita. Ia mulai ingin memfokuskan pada prestasi di lingkungannya (menjadi pucuk pimpinan parpol misalnya, menjadi kepala bagian di kantor atau mendirikan anak perusahaan di setiap daerah). Seorang yang telah tua, akan lebih arif dan memiliki cita-cita yag ‘sosial’/ mislanya mendirikan yayasan yatim piatu atau menulis biografinya. Begitulah cita-cita manusia secara umum. perubahan cita-cita itu dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya intrest pribadi (faktor internal) dan kebutuhan masyarakat (faktor eksternal).

Lalu bagaimana cita-cita yang legitimatifif? Apakah sekedar setinggi langit? Cita-cita yang legitimatif adalah cita-cita yang tepat, pada orang yang tepat, dan pada saat yang tepat pula. Sekarang coba bandingkan!
Seorang anak kecil yang bercita-cita menjadi direktur, dengan seorang mahasiswa jurusan manajemen yang juga bercita-cita sama, manakah yang lebih legitimate? kita memang berhak untuk menargetkan pada semua orang bahwa cita-cita kita adalah besar dan setinggi langit. namun tingkat legitimasi cita-cita tiap orang tentu berbeda. seseorang dengan tingkat legitimasi cita-cita yang kecil adalah ‘bagai pungguk merindukan bulan’ atau sama dengan ‘jauh panggang dari api’. Sedangkan seseorang dengan tingkat legitimasi cita-cita yang tinggi adalah sebuah bom waktu. Ia tinggal menunggu saat yang tepat untuk meledakkan prestasinya. Meledak atau tidak, sejarah akan tetap mencaatatnya. Baik sebagai pemenang dengan prestasi besarnya maupun sebagai pejuang yang gugur dalam keteguhan memperjuangkan cita-citanya. Legitimasi cita-cita adalah ‘formulir pendaftaran’ bagi yang mendaftarkan diri sebagai pahlawan, orang yang membuat prestasi besar bagi kemashalatan (kebaikan, kemanfaatan) umat di zamannya.

Kemudian bagaimana sebuah cita-cita dapat menumbuhkan legitimasinya?
Pertama: CIta-cita tersebut harus lahir dari visi yang benar
Visi bagi seorang muslim adalah aqidah, falsafah dan ideologinya dalam beraktivitas. Visi islami yang jelas dan benar hanya akan terbentuk oleh sebuah pemahaman aqidah dan keimanan yang lurus. Apakah visi yang maksimal dari seorang muslim? Jawabannya singkat, padan dan berat, yaitu ridha Allah SWT. Visi inilah yang akan mengarahkan setiap aktivitas, pemikiran bahkan cita-citanya. Seorang muslim dengan visi yang benar, akan mempunyai cita-cita yang tidak kontraproduktif terhadap visi terbesarnya. Dengan demikian, setiap cita-cita yang menjauhkan pemiliknya dari ridha Allah secara otomatis menjadi tidak legitimatif.

Kedua: Cita-cita itu harus sesuatu yang besar dan agung
Setiap orang berhak menentukan cita-cita, besar maupun kecil. Namun, kita di sini akan memandang dari perspektif sejarah peradaban dunia dan manusia. Sekali lagi, sejarah ternyata hanya peduli dengan prestasi-prestasi besar. Sejarah ‘terlalu sombong’ untuk disibukkan dengan prestasi-prestasi kecil. Lalu apakah sejarah tidak adil? Tidak! Sejarah cukup adil dengan mendokumentasikan seseorang sesuai dengan prestasi yang diukirnya. Jika prestasi tersebut kecil, sejarah tentu akan menghilangkannya atau cukup mewakilkan pada sejarah yang lebih sempit untuk mencatatnya. Kita sedang berbicara ‘sejarah peradaban manusia’ yang hanya peduli dengan prestasi-prestasi besar dan agung. Prestasi besar muncul dari ciita-cita yang agung pula. Cita-cita yang kecil kalaupun terealisasi tidak akan mengubah perjalanan sejarah. Jadi, cita-cita menjadi legitimate apabila realisasi cita-cita tersebut dapat mengubah irama sejarah! Contohnya, bandingkanlah cita-cita membebaskan Masjid al-Aqsa dari genggaman Yahudi dengan cita-cita membangun masjid megah di kampong. Mana yang lebih besar dan agung? Mana yang dapat mengubah sejarah? Jadi, mengapa kita tidak membuat cita-cita besar dan agung untuk merubah irama sejarah kehidupan kita?

Ketiga: Cita-cita itu harus jelas dan dapat didefinisikan
Cita-cita tidak sama dengan mimpi. Bukan pula angan-anagn. Meskipun kadangkala cita-cita itu merupakan metamorphosis dari keduanya. Pada awalnya cita-cita berupa impian kemudian berubah menjadi angan-angan. Dari impian menjadi cita-cita. Namun, cita-cita menjadi tidak legitimatif jika masih dalam tahap impian dan angan-angan.
Salah satu ciri tahapan impian dan angan-angan adalah ketidakjelasan! Seseorang yang bermimpi akan mengatakan, ‘Saya ingin memiliki mobil dan rumah mewah”. Sedangkan orang yang bercita-cita akan megatakan, “Saya akan mendirikan perusahaan elektronik terbesar di negeri ini.” Bandingkan dengan perkataan kedua, manakah cita-cita yang bisa merangkum semuanya? Otomatis dengan hal itu ia bisa mendapatkan mobil dan rumah mewah sekaligus, bukankah begitu?
Kejelasan sebuah cit-cita sangat diperlukan untuk menentukantingkat legitimasi cita-cita tersebut. Lihatlah salah seorang sahabat dalam sebuah peperangan. Ketika ditanya oleh Rasulullah saw tentang cita-citanya maka ia menjawab dengan jelas dan mantap, “Saya ingin syahid dengan tombak tertancap di kerongkonganku ini.” Dan cita-citanya yang jelas itu –dengan izin Alla swt- dapat terealisasikan. Cita–cita yang terharus mempunyai titik penekanan yang jelas dan tidak mengandung penafsiran. Cita-cita yang terlalu luas adalah bentuk lain dari angan-anagn dan impian, dan hal tersebut dapat juga mengindikasikan keragu-raguan seseorang dalam menentukan cita-citanya.

Keempat: Cita-cita harus seimbang antara  sejarah potensi dan kemampuan diri
Cita-cita sebesar dan seagung apapun, tidak akan legitimate jika tidak sesuai dengan sejarah potensi dan kemampuan seseorang. Contohnya, Khalid bin Walid, panglima terbesar dalam sejarah Islam, ternyata mempunyai sejarah dan potensi besar dalam bidang militer. Begitu juga kecerdasan dan keberanian Umar bin Khattab ra. Rasulullah saw pun secara tersirat mengatakan bahwa yang terbaik di antara kaumnya di masa jahiliyah adalah yang terbaik di masa Islam. Ini adalah pengakuan Rasulullah saw terhadap kekuatan potensi diri setiap orang yang berbeda-beda. Jika kita mengkaji sejarah para tokoh, kita akan mendapatkan mereka memiliki sejarah potensi dan kemampuan yang realistis di masa lalunya. Setiap orang yang berpotensi besar di dunia ini pasti telah merintis prestasi-prestasi kecil sebelumnya.

Kelima: Cita-cita harus efektif, diukur dari tiga hal:
keikhlasan, karena sebuah cita-cita yang tak diawali dengan keikhlasan ketika terealisasi tidak akan mendapat apresiasi apapun dari allah swt, meskipun sejarah mencatatnya.
tingkat kebutuhan masyarakat, karena cita-cita yang efektif harus mampu menjawah kebutuhan masyarakat. Dengan demikian cita-cita akan member kemashalatan sebesar-besarnya.
strategi perealisasian, dengan menjabarkan cita-cita dalam strategi pencapaian yang bertahap, jelas dan terarah.

Ternyata bercita-cita dan berprestasi adalah suatu yang niscaya kan? Dan tidak hanya ‘setinggi langit’, namun legitimate dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentunya hal ini pula harapannya bahwa dengan menempuh pendidikan yang lebih tinggi semestinya kita mulai merencanakan dan memperjuangkan cita-cita dan sejarah kita.

No comments:

Post a Comment