Wednesday 12 September 2012

Lelaki itu


Di kala kanak-kanak dulu, saat demam hingga malam hari biasanya aku merengek karena merasa tidak nyaman. Jika ibu akan bolak-balik menghampiri seraya mengganti kompres dengan wajah terlihat cemas. Maka, dengan suaranya yang berwibawa ayah akan bilang, “Anak ayah gapapa kok”. Lalu ia akan meletakkan punggung tangannya di keningku sambil berucap, “Sini, biar panasnya menular ke Ayah aja..”. Dan kata-kata ayah bikin aku yakin segera sembuh.

Ayah seorang didikan militer, dan itulah sebabnya beliau punya kepribadian amat tegas. Tak terkecuali pada anak-anaknya. Sejujurnya saat kecil aku merasa sangat takut pada ayah. Karena seringnya bertengkar sama adik, maka akulah yang kerap menjadi “sasaran” nasihat, bahwa seorang kakak harus mengalah dan jadi contoh.

Ia yang selalu mengungkapkan kebanggaannya dengan bilang, “Siapa dulu dong, anak ayah!”. Tapi oh tapi, kalau marah pun tak main-main (dan marahnya selalu dengan alasan dan tentunya sebagai tanda sayang)
Bahkan cara menjawab panggilan orang lain pun beliau ajarkan. Engkau cukup dipanggil satu kali, keduanya adalah teguran dan jangan sampai ke panggilan ketiga. Jawab minimal dua kata, “Ya, yah..” atau “Ya. Bu..” dan seterusnya.

Waktu ayah jadi imam shalat, maka bacaan favoritnya adalah ayat kursi. Makanya aku jadi familiar sama ayat ini.

Dan sejak terpisah jarak, maka setiap malamnya ayah akan menelefon ke rumah meski hanya bertanya kabar atau “Gimana sekolahnya, nak?”

Ya, tiap ayah punya cara mengungkapkan rasa cinta pada anaknya.

Dan seperti malam ini, “Gimana sayang, ada kabar?” katanya di ujung telefon.

No comments:

Post a Comment