Di kala kanak-kanak dulu, saat demam hingga malam hari biasanya
aku merengek karena merasa tidak nyaman. Jika ibu akan bolak-balik menghampiri
seraya mengganti kompres dengan wajah terlihat cemas. Maka, dengan suaranya
yang berwibawa ayah akan bilang, “Anak ayah gapapa kok”. Lalu ia akan
meletakkan punggung tangannya di keningku sambil berucap, “Sini, biar panasnya
menular ke Ayah aja..”. Dan kata-kata ayah bikin aku yakin segera sembuh.
Ayah seorang didikan militer, dan itulah sebabnya beliau
punya kepribadian amat tegas. Tak terkecuali pada anak-anaknya. Sejujurnya saat
kecil aku merasa sangat takut pada ayah. Karena seringnya bertengkar sama adik,
maka akulah yang kerap menjadi “sasaran” nasihat, bahwa seorang kakak harus
mengalah dan jadi contoh.
Ia yang selalu mengungkapkan kebanggaannya dengan bilang, “Siapa
dulu dong, anak ayah!”. Tapi oh tapi, kalau marah pun tak main-main (dan marahnya
selalu dengan alasan dan tentunya sebagai tanda sayang)
Bahkan cara menjawab panggilan orang lain pun beliau
ajarkan. Engkau cukup dipanggil satu kali, keduanya adalah teguran dan jangan
sampai ke panggilan ketiga. Jawab minimal dua kata, “Ya, yah..” atau “Ya. Bu..”
dan seterusnya.
Waktu ayah jadi imam shalat, maka bacaan favoritnya adalah
ayat kursi. Makanya aku jadi familiar sama ayat ini.
Dan sejak terpisah jarak, maka setiap malamnya ayah akan
menelefon ke rumah meski hanya bertanya kabar atau “Gimana sekolahnya, nak?”
Ya, tiap ayah punya cara mengungkapkan rasa cinta pada
anaknya.
Dan seperti malam ini, “Gimana sayang, ada kabar?” katanya
di ujung telefon.
No comments:
Post a Comment